The Blog Is Not Dead (Yet)

Posted: 4 February 2012 in Uncategorized
Tags:

Assalamu’alaykum wr.wb. wahai para pembaca (kalau emang ada yang baca -__-‘). Lama sudah tidak pernah menyentuh blog ini. Tepat dua tahun (benar-benar tepat dua tahun) semenjak saya posting terakhir tentang telunjuk yang bersyahadat.

Sebenarnya banyak alasan kenapa saya “berhenti” menulis. Dan yang paling utama adalah karena saya takut apa yang saya tulis ini merupakan pengejawantahan dari sifat sombong. Dan itu berbahaya. Maksud saya begini. Pernahkah kalian membaca status salah seorang teman lalu dalam hati kalian berkata, “sombong banget nih orang, baru naik kapal terbang sekali aja dah heboh banget”, atau “duuh.. belaga banget sih nih orang baru namanya dipajang di koran aja kayak dah jadi bupati, pake di-mention segala linknya”, dan lain sebagainya. Berbahaya bukan(?)…

…Berbahaya(?) Berbahaya kalau ternyata memang hati kita itu nyombong, baik sengaja ataupun tidak. Nah, kalau sudah begitu dan keterusan maka itu lebih berbahaya dari kanker, dari HIV, atau bahkan dari digigit kucing [eeh.. teu nyambung, bawa-bawa kucing segala Seperti yang kalian tau, sombong itu bagian dari syirik kecil. Nah kalau yang kecil-kecil itu sudah jadi karakter kan berbuuuuaaahhaya bukan(?)

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al Zumar: 65)

Syirik itu menghapus amal baik SEMUANYA, tidak berbekas. Boleh jadi sombong itulah menjadi titik awal yang paling baik untuk kemunculan syirik. Kembali ke cerita status yang disangka “sombong” tadi, saya tidak bicara bahwa orang-orang yang menulis status itu pasti sedang sombong. Saya berprasangka baik bahwa mereka tidak sedang nyombong. Tapi kalau maksudnya memang ingin dapat pujian orang, nah loh!!

Sudahlah, terkait dengan sombong dan pujian dari orang lain, saya pikir mari kita menulis saja lagi. Menulis apa yang ada di pikiran. Mengalir sajalah menulisnya, tidak harus bagus, yang penting menulis dulu. Tidak pentinglah pikir-pikir takut sombong, yang penting insyaAllah tidak ada maksud nyombong atau sejenisnya. Kalau nanti malah dapat pujian, ya.. itu “risiko” toh memang tidak berharap dipuji juga. Bahkan tidak ada yang komentar pun tidak apa-apa. Semoga menulis ke depannya bisa memberikan manfaat kepada saya dan kepada yang membaca.  Bismillah… dan mari… menulis (lagi).

Oh iya, satu lagi. Kalau nanti ada yang berpikiran saya sedang sombong atau belagu. Yaa.. mungkin itu bisa saja terjadi. Tapi yang penting bagaimana pandangan Allah sajalah.. Hehe..
(by the way, dari tadi ngomong sombong-sombong melulu, emang ada yang patut disombongin(?).. hehehe)

Telunjuk Yang Bersyahadat

Posted: 4 February 2010 in Islam
Tags: ,

Ulama, dai, serta para penyeru Islam yang mempersembahkan nyawanya di jalan Allah, atas dasar ikhlas kepada-Nya, senantiasa ditempatkan Allah sangat tinggi dan mulai di hati segenap manusia.

Di antara dari dan penyeru Islam itu adalah syuhada (insyaAllah) Sayyid Quthb. Bahkan peristiwa eksekusi matinya yang dilakukan dengan cara digantung, memberikan kesan mendalam dan menggetarkan bagi siapa saja yang mengenal beliau atau menyaksikan sikapnya yang teguh. Di antara mereka yang begitu tergetar dengan sosok mulia ini adalah dua orang polisi yang menyaksikan eksekusi matinya (di tahun 1966).

Salah seorang polisi itu mengetengahkan kisahnya kepada kita:

Ada banyak peristiwa yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya, lalu peristiwa itu menghantam kami dan mengubah total kehidupan kami.

Di penjara militer pada saat itu, setiap malam kami menerima orang atau sekelompok orang, laki-laki atau perempuan, tua maupun muda. Setiap orang-orang itu tiba, atasan kami menyampaikan bahwa orang-orang itu adalah para pengkhianat negara yang telah bekerja sama dengan agen Zionis Yahudi. Karena itu, dengan cara apa pun kami harus bisa mengorek rahasia dari mereka. Kami harus dapat membuat mereka membuka mulut dengan cara apapun, meski itu harus dengan menimpakan siksaan keji pada mereka tanpa pandang bulu.

Jika tubuh mereka penuh dengan berbagai luka akibat pukulan dan cambukan, itu sesuatu pemandangan harian yang ibasa. Kami melaksanakan tugas itu dengan satu keyakinan kuat bahwa kami tengah melaksanakan tugas mulia: menyelamatkan negara dan melindungi masyarakat dari para “pengkhianat keji” yang telah bekerja sama dengan Yahudi hina.

Begitulah, hingga kami menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak dapat kami mengerti. Kami menyaksikan para ‘pengkhianat’ ini senantiasa menjaga shalat mereka, bahkan senantiasa berusaha menjaga dengan teguh qiyamullail setiap malam, dalam keadaan apa pun. Ketika ayunan pukulan dan cabikan cambuk memcahkan daging mereka, mereka tidak berhenti untuk mengingat Allah. Lisan mereka sentiasa berzikir walau tengah menghadapi siksaan yang berat.

Beberapa di antara mereka berpulang menghadap Allah, sementara ayunan cambuk tengah mendera tubuh mereka, atau ketika kawanan anjing lapar merobek daging punggung mereka. Tetapi dalam kondisi mencekam itu, mereka menghadapi maut dengan senyum di bibir, dan lisan yang selalu basah mengingat nama Allah.

Perlahan, kami mulai ragu, apakah benar orang-orang ini adalah sekawanan ‘penjahat keji’ dan ‘pengkhianat’? Bagaimana mungkin orang-orang yang teguh dalam menjalankan perintah agama adalah orang yang berkolaborasi dengan musuh Allah?

Maka kami, aku dan temanku yang sama-sama bertugas di kepolisian ini, secara rahasia menyepakati, untuk sedapat mungkin berusaha tidak menyakiti orang-orang ini, serta memberikan mereka bantuan apa saja yang dapat kami lakukan. Dengan izin Allah, tugas saya di penjara militer tersebut tidak berlangsung lama. Penugasan kami yang terakhir di penjara itu adalah menjaga sebuah sel di mana di dalamnya dipenjara seseorang. Kami diberi tahu bahwa orang ini adalah yang paling berbahaya dari kumpulan ‘pengkhianat’ itu. Orang ini adalah pemimpin dan perencana seluruh makar jahat mereka. Namanya Sayyid Quthb.

Orang ini agaknya telah mengalami siksaan sangat berat hingga ia tidak mampu lagi untuk berdiri. Mereka harus menyeretnya ke Pengadilan Militer ketika ia akan disidangkan. Suatu malam, keputusan telah sampai untuknya, ia harus dieksekusi mati dengan cara digantung.

Malam itu seorang syeikh dibawa menemuinya, untuk mentalqin dan mengingatkannya kepada Allah, sebelum dieksekusi.

Syeikh itu berkata, “Wahai Sayyid, ucapkanlah la ilaha illallah…” sayyid Quthb hanya tersenyum lalu berkata, “Sampai juga engkau wahai Syeikh, menyempurnakan seluruh sandiwara ini? Ketahuilah, kami mati dan mengorbankan diri demi membela dan meninggikan kalimat la ilaha illallah, sementara engkau mencari makan dengan la ilaha illallah.”

Dini hari esoknya, kami, aku dan temanku, menuntun tangannya dan membawanya ke sebuah mobil tertutup, di mana di dalamnya telah ada beberapa tahanan lainnnya yang juga akan dieksekusi. Beberapa saat kemudian, mobil penjara itu berangkat ke tempat eksekusi, dikawal oleh beberapa mobil militer yang membawa kawanan tentara bersenjata lengkap.

Begitu tiba di tempat eksekusi, tiap tentara menempati posisinya dengan senjata siap. Para perwira militer telah menyiapkan segala hal termasuk memasang instalasi tiang gantung untuk setiap tahanan. Seorang tentara eksekutor mengalungkan tali gantung ke leher beliau dan para tahanan lain. Setelah semua siap, seluruh petugas bersiap menunggu perintah eksekusi.

Di tengah suasana ‘maut’ yang begitu mencekam dan menggoncangkan jiwa itu, aku menyaksikan peristiwa yang mengharukan dan mengangumkan. Ketika tali gantung telah mengikat leher mereka, masing-masing saling bertausiyah kepada saudaranya, untuk tetap teguh dan sabar, serta menyampaikan kabar gembira, saling berjanji untuk bertemu di surga, bersama dengan Rasulullah tercinta dan para sahabat. Tausiyah ini kemuadian diakhiri dengan pekikan, “ALLLAHU AKBAR WA LILLAHILHAMD!” Aku tergetar mendengarnya.

Di saat yang genting itu, kami mendengar bunyi mobil datang. Gerbang ruangan dibuka dan seorang pejabat militer tingkat tinggi datang dengan tergesa-gesa sembari memberi komando agar pelaksanaan eksekusi ditunda.

Perwira tinggi itu mendekati Sayyid Quthb, lalu memerintahkan agar tali gantungan dilepaskan dan tutup mata dibuka. Perwira itu kemudian menyampaikan kata-kata dengan bibir bergetar, “Saudaraku Sayyid, aku datang bersegera menghadap Anda, dengan membawa kabar gembira dan pengampunan dari Presiden kita yang sangat pengasih. Anda hanya perlu menulis satu kalimat saja sehingga Anda dan seluruh teman-teman Anda akan diampuni”.

Perwira itu tidak membuang-buang waktu, ia segera mengeluarkan sebuah notes kecil dari saku bajunya dan sebuah pulpen, lalu berkata, “Tulislah Saudaraku, satu kalimat saja… Aku bersalah dan aku minta maaf…”

(Hal serupa pernah terjadi ketika Ustadz Sayyid Quthb dipenjara, lalu datanglah saudarinya Aminah Quthb sembari membawa pesan dari rezim penguasa Mesir, meminta agar Sayyid Quthb sekadar mengajukan pemohonan maaf secara tertulis kepada Presiden Jamal Abdul Nasser, maka ia akan diampuni. Sayyid Quthb mengucapkan kata-katanya yang terkenal, ‘Telunjuk yang senantiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalat, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada rezim thawaghit…’ –penerjemah).

Sayyid Quthb menatap perwira itu dengan matanya yang bening. Satu seny8um tersungging di bibirnya. Lalu dengan sangat berwibawa beliau berkata, “Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan akhirat yang abadi”.

Perwira itu berkata, dengan nanda suara bergetar karena rasa sedih yang mencekam, “Tetapi Sayyid, itu artinya kematian…”

Ustadz Sayyid Quthb berkata tenang, “Selamat datang kematian di jalan Allah… sungguh Allah Mahabesar!”

Aku menyaksikan seluruh episode ini, dan tidak mampu berkata apa-apa. Kami menyaksikan gunung menjulang yang kokoh berdiri mempertahankan iman dan keyakinan. Dialog itu tidak dilanjutkan, dan sang perwira memberi tanda eksekusi untuk dilanjutkan.

Segera, para eksekutor akan menekan tuas, dan tubuh Sayyid Quthb beserta kawan-kawannya akan menggantung. Lisan semua mereka yang akan menjalani eksekusi itu mengucapkan sesuatu yang tidak akan pernah kami lupakan untuk selama-lamanya… Mereka mengucapkan, “La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah…

Sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk bertobat, takut kepada Allah, dan berusaha menjadi hamba-Nya yang saleh. Aku senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia mengampuni dosa-dosaku, serta menjaga diriku di dalam iman hingga akhir hayatku.

Diambil dari kumpulan kisah: “Mereka yang kembali kepada Allah” karya Muhammad Abdul Aziz Al Musnad. Penerjemah: Dr. Muhammad Amin Taufiq. Courtesy: Al Firdaws English Forum.

Silakan diunduh soal2 probabilistik (sementara.. dan terus akan ditambah/diupdate)… dan dikerjakan sebagai bahan latihan… semoga menjawab hasrat keingintahuan dan kegemaran belajar kalian.. juga mempermudah waktu UAS nanti… amin link: http://students.itb.ac.id/home/haryadi@s tudents.itb.ac.id/Briefcase/public/Soal2 %20probabilitas%20ver1.1.pdf

Mahluk yang paling menakjubkan adalah manusia, karena dia bisa memilih untuk menjadi “setan atau malaikat”.
–John Scheffer-

Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.

Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.

Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?

Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.

Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.

Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.

Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.

Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.

Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:

—–

“Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.

Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.

Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.

Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?

Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.

Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.

Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.

Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.

Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”

—–

Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.

Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.

Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.

Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.

Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.

Untuk mendownload “apdetan” avg selanjutnya silakan masuk ke page downloads update free avg.
Link-nya ada di sebelah kanan (coba tengok)..

Sengaja saya jadiin page biar gampang nyari donlotannya….

Kalo males nih link page-nya: link page-nya

Seperti biasa: “SEMOGA BERMANFAAT DAN MENJADI AMAL SHOLEH…

Semuanya.. mohon doanya ya… senin depan saya seminar Tugas Akhir saya. Judulnya Updating Reservoir Model Menggunakan EnKF… Kasus yang ditinjau adalah reservoir dengan multiwell….

Sekali lagi, mohon doanya…

Persib 1-1 Persipura

Posted: 10 February 2009 in Gak Jelas

Ulasan saya berkaitan dengan Persib vs Persipura

1. Lebih sibuk untuk memikirkan bagaimana orang lain mendapatkan kartu kuning. Melakukan diving, aktivitas provokasi yang berlebihan, protes berlebihan. Padahal harusnya fokus untuk bersinergi guna mencetak gol.

2. Tidak bermain sabar. Ini terlihat dari tidak adanya kerjasama yang optimal dari para pemain. Tidak adanya strategi penyerangan yang jelas dan rapi. Terkesan: “yang penting sampai ke depan”.

3. Tidak ada rasa saling percaya. Ya, itulah yang saya rasakan. Entahlah. Saya melihat Gonzales bermain tidak lepas. Kenapa seperti itu. Karena saya lihat di babak pertama dia tidak diberikan kesempatan yang matang dari teman-temannya. Bola lebih banyak mengalir untuk Hilton dan Bastos. Bila saya di posisi Gonzales, saya merasa bahwa teman-teman saya belum memberikan kepercayaan kepada saya sebagai seorang striker. Saya pernah merasakan hal itu lama sekali di waktu sma. Berbeda dengan teman-teman saya di Matematika ITB [terima kasih ya teman-temanku..]

4. Bermain lebih banyak dengan nafsu, tidak dengan kepintaran.

5. Tidak berhati-hati. Lebih banyak melakukan kesalahan-kesalahan yang mendasar. Contohnya salah operan, tidak menahan bola dengan baik, dll. Ini ciri yang masih melekat di sepak bola Indonesia.

6. Mental juara. Inilah yang saya rasa masih tidak ada di Persib. Ah sebenarnya saya mau cerita banyak tentang masalah yang satu ini. Tapi, ah, lain kali saja.

20:47 wah gol nih akhirnya si Loco Gonzales.

Pemain yang tidak mantap: 1. Hilton. Banyak provokasi, gak penting. Terlalu egois, tidak bermain sabar. Bila saya jadi pelatih, saya ganti duri dalam daging yang satu ini. Kesimpulan: Bila Persib selalu bermain seperti ini, sulit menjadi tim juara. Menang sih masih bisa, tapi untuk jadi tim juara, saya rasa masih jauh. [ah… siapalah saya ini. Main bola aja belum tentu sebagus mereka. Oh ya, saya kan bobotoh. Saya sayang ama Persib. Ini salah satu bentuk rasa sayang saya.]

Langsung saja. We will not go down video clipnya. Ya ini kayaknya bukan vidclip yang resmi. Tapi kalo mau liat silakan saja. Oh ya, isinya foto-foto.

link: ini
gede filenya: 35 mb